Seperti
yang telah disebut, bahwa asal-muasal garam tak bisa dipisahkan dari
Desa Pinggirpapas. Kejadiannya bermula dari serangan Kerajaan Bali
terhadap Keraton Sumenep yang pada waktu itu diperintah oleh raja
kembar, yakni Pangeran Lor dan Pangeran Wetan. Keduanya merupakan putra
dari Tumenggung Kanduruhan, Adipati Sumenep yang memerintah sejak tahun
1559-1562 menggantikan Raden Ario Wonoboyo atau Pangeran Seding Puri,
cucu menantu Jokotole. Sedangkan Tumenggung Kanduruhan ini adalah putra
Raden Fatah atau Sultan Abdul Fattah, Sultan Demak pertama.
Dalam buku Babad Sumenep karya Musaid atau Raden Werdisastra,
serangan tersebut terjadi di kurun pertengahan abad keenam belas,
sekitar tahun 1560-an. Saat itu serangan pertama Bali berhasil
menggoyang pertahanan pasukan Sumenep, bahkan Raja Sumenep sendiri
Pangeran Lor terluka parah hingga menghembuskan nafas terakhirnya.
Sementara adiknya Pangeran Wetan yang waktu itu berkunjung Demak
langsung kembali ke Sumenep ketika mendengar kabar tersebut. Dengan
dibantu mertuanya Raja Pamekasan sekaligus Sampang, yakni Pangeran
Bonorogo atau Kanjeng Kiyai Adipati Pramono, Pangeran Wetan berhasil
meluluhlantakkan pasukan Bali, sekaligus menghabisi nyawa Raja Bali dan
seluruh keluarganya, serta pembesar-pembesar lainnya.
Nah, sisa-sisa pasukan Bali yang kalah tersebut setelah diampuni
menyingkir ke arah timur. Sebagian kecil menyingkir ke Desa
Karangpanasan dan menetap di kampung Bhilla’an, dan sebagian besar
menyingkir ke Desa Pinggirpapas. Di Desa Pinggirpapas ini mereka dijamin
setia kepada Sumenep oleh seorang tokoh atau ‘ulama pendatang bernama
Pangeran Anggasuta atau Syekh Onggosuto.
Menurut cerita, ia mendapat hibah tanah dari Pangeran Lor, Raja
Sumenep, yakni Desa Pinggirpapas dan sekitarnya. Mengenai asal-usul
Syekh Onggosuto banyak versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa ia
adalah saudara Pangeran Ujung Pangkah, Gresik. Pangeran Ujung Pangkah
ini adalah putra Sunan Kulon atau Sunan Ali Sumodiro, Giri. Sedangkan
Sunan Kulon adalah putra Sunan Giri (Ainul Yaqin), Gresik. Jika demikian
Pangeran Onggosuto bersaudara juga dengan Nyai Gede Kedatun (ibunda
Sunan Cendana Kwanyar, Bangkalan) dan Sunan Prapen (Sunan Giri II).
Terlepas dari berbagai versi tentang asal-usul Syekh Onggosuto, yang
jelas ia merupakan orang berpengaruh sehingga bisa memberi jaminan
kepada Raja Sumenep. Tak hanya itu, melalui beliau, pasukan Bali
tersebut dikenalkan pada agama Islam dan berlanjut menjadi penganutnya.
Setelah mendapat jaminan, seiring waktu pasukan Bali itu merasa resah.
Pasalnya mereka tak punya keterampilan kecuali berperang, sehingga
mereka pun kesulitan mendapatkan mata pencaharian.
Berdasarkan cerita tutur masyarakat setempat, akhirnya mereka menemui
Onggosuto untuk memecahkan masalahnya. Oleh Onggosuto mereka disuruh
menunggu, karena sang Syekh akan melakukan istikharah. Menurut petunjuk,
Onggosuto diceritakan disuruh berjalan menuju pesisir pantai. Karena
tanah di pantai bersifat lembek, maka jejak-jejak telapak Onggosuto
terbentuk jelas. Jejak-jejak tersebut kemudian diisi air laut.
Beberapa hari kemudian, Onggosuto kembali mendapat petunjuk agar
mendatangi pantai yang mencetak jejak-jejak kakinya. Nah, ketika sampai
di sana, Onggosuto mendapati bekas tapak kakinya dipenuhi benda berwarna
putih, yang selanjutnya dinamainya
Buja (yang artinya, garam).
Onggosuto pun kemudian mendapat petunjuk juga mengenai cara mengolah
garam yang kemudian diajarkannya pada penduduk atau para prajurit Bali.
Mulai dari cara memetak tanah untuk ladang garam, dan juga cara
memindah-mindah air laut. Singkat cerita, berita penemuan garam itu pun
tersebar ke seluruh penjuru daerah, yang hingga kini masyarakat bisa
memetik buah dari peninggalan Onggosuto itu.